Emus Gwijangge: Penanganan Demonstrasi di Papua Mesti Humanis

Pembubaran demonstrasi di Jayapura oleh kepolisian, Selasa (02/04/2024)

Metro Merauke – Legislator Papua, Emus Gwijangge menyatakan penanganan demonstrasi atau unjuk rasa di Papua oleh kepolisian mesti lebih humanis.

Pernyataan itu disampaikan anggota komisi bidang pemerintahan, keamanan, politik, hukum dan HAM DPR Papua itu terkait pembubaran aksi demonstrasi di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura oleh aparat keamanan, Selasamr (02/04/2024).

Bacaan Lainnya

Dalam pembubaran aksi demonstrasi terkait penyiksaan warga Papua di Kabupaten Puncak, Papua Tengah itu massa berencana mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi.

Aspirasi itu, yakni meminta dibentuk tim investigasi independen dalam kasus tersebut, dan para terduga pelaku penyiksaan diadili di Pengadilan Militer III-19 Jayapura.

Namun massa aksi gagal mendatangi kantor DPR Papua, sebab demonstran di beberapa titik kumpul di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura, dibubarkan polisi.

Dalam pembubaran itu polisi mengeluarkan tembakan gas air mata dan beberapa orang demonstran terluka akibat terkena pukulan polisi.

Situasi itu disayangkan oleh Emus Gwijangge. Menurutnya, mestinya polisi bisa lebih humanis dalam menangani demonstran. Tidak bertindak represif.

“Aksi demonstrasi di Papua ini kan berbeda dengan aksi di luar Papua atau di provinsi lain di Indonesia. Saya berharap dalam bertindak atau menangani aksi di Papua, kepolisian tidak bertindak represif. Namun membangun komunikasi yang baik dengan pihak demonstran,” kata Emus Gwijangge, Selasa.

Anggota DPR Papua, Emus Gwijangge

Katanya, sebelum bertindak kepolisian mestinya berkomunikasi dengan koordinasi aksi terlebih dahulu, agar mereka bisa menyampaikan tujuan mereka dan setelah itu dipulangkan. Sebab tujuan demonstrasi itu hanya sebatas menyampaikan aspirasi. 

“Kami tahu ini memang tugas polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat umum. Namun dalam menangani demonstran di Papua perlu cara persuasif. Tidak harus bertindak represif karena mereka ini juga warga negara Indonesia, dan undang-undang menjamin berpendapat di muka umum. Jadi mesti lebih humanis penanganannya,” ujarnya.

Katanya, wajar saja apabila mahasiswa atau pemuda di Papua hendak menyampaikan aspirasinya melalui ujuk rasa, karena mereka resah dengan situasi di Papua, terutama masalah kemanusiaan.

Untuk itu Emus Gwijangge yang merupakan politikus Partai Demokrat itu menyarankan kepolisian atau pimpinan kepolisian seperti Kapolda atau Kapolres untuk lebih bijaksana dalam memerintahkan anggotanya dalam menangani demonstran.

“Bila perlu satu dua hati [sebelum aksi dilakukan] koordinator atau penanggung jawab aksi, dipanggil dan membicarakan rencana aksi itu. Tidak harus dibatasi ruang untuk menyampaikan pendapat,” ucapnya.

Emus Gwijangge mengatakan, apabila ada di antara demonstran yang hendak berbuat rusuh atau mengganggu ketertiban umum dan lainnya, oknum itu yang harus diamankan dan diproses hukum. Tidak menyamaratakan semua demonstran.

Katanya, mungkin memang kepolisian hanya melaksanakan tugas sesuai tupoksinya atau melaksanakan perintah pimpinan. Namun jangan sampai perbuatan satu atau dua orang oknum aparat keamanan yang menyebabkan masyarakat korban, justru minciderai citra institusi. 

“Jadi saran saya mungkin perlu pendekatan lebih humanis. Itu intinya, karena pihak keamanan tujuannya baik dan demonstran juga tujuannya baik. Tinggal bagaimana kedua pihak berkoordinasi baik, sehingga demonstran bisa menyampaikan aspirasinya di lokasi tujuan dan setelah itu mereka bisa pulang, bahkan kalau bisa dikawal pulang,” kata Emus Gwijangge. (Arjuna)

UNTUK PEMBACA METRO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *