Oleh Wensislaus Fatubun
Kandidat PhD, Universitas Canterbury
Aotearoa – New Zealand
Akhir-akhir ini, kita menyaksikan berbagai gelombang protes dari Malind anim terhadap kebijakan pemerintah di provinsi Papua Selatan. Mereka protes karena kebijakan pemerintah dianggap tidak menghargai dan melanggar hak-hak mereka.
Sejak tahun lalu (2024), beberapa tokoh pemuda, tokoh perempuan dan tetua adat Malind anim mengorganisir Forum Malind Kondo Digoel. Forum ini sebagai organisasi yang mengkonsolidasikan komunitas Malind anim dalam mempertahankan atau melindungi tanah-tanah adat mereka dari perampasan tanah adat oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam Proyek Strategi Nasional (PSN) di kabupaten Merauke. Forum ini mendapat dukungan yang signifikan dari kelompok masyarakat sipil, seperti Yayasan Bentala Pusaka, Lembaga Bantuan Hukum, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya di Indonesia. Forum ini menentang pembabatan hutan dan pengambilalihan tanah adat Malind yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh perusahan dengan dukungan militer Indonesia, dan tanpa partisipasi atau musyawarah lebih dulu dengan anggota komunitas Malind anim. Dalam sebuah side event yang diselenggaran oleh Dewan Gereja Sedunia di Geneva pada 23 September 2025, Albert Kwokwo Barume (Pelapor Khusus PBB untuk masyarakat adat) menegaskan bahwa ada masalah ketiadaan pengakuan masyarakat adat. Sehingga salah satu agenda advokasi dari forum ini adalah meminta agar Presiden Indonesia untuk segera mengesahkan rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat demi memberikan perlindungan hukum yang kuat. Cypri Dale (2025), seorang peneliti Indonesia berpendapat, “Saya menemukan bahwa penancapan palang adat dan salib merah ini merupakan revitalisasi atau transformasi dan sekaligus artikulasi baru dari palang adat yang di masa lalu dipakai untuk menjaga wilayah (teritori) dan ruang hidup berhadapan dengan suku atau sub-suku lain.”
Jauh sebelum gerakan Forum Malind Kondo-Digoel, ada inisiatif serupa, sebut saja Gerakan Tiga Buta pada tahun 2003. Gerakan Tiga Buta adalah sebuah gerakan Malind anim yang digagas oleh anggota komunitas Malind Khima-ghima dibawa pimpinan Paulina Imbumar dari kampung Kawe, di wilayah pantai barat pulau Kimaam. Paulina Imbumar adalah seorang perempuan adat dan tokoh spiritual Khima-ghima. Selain itu, ada juga Gerakan Sasi Mayan. Sasi Mayan adalah gerakan yang digagas oleh anak-anak muda Malind Woyu Maklew di distrik Tubang pada tahun 2012. Gerakan ini menggunakan nilai budaya Sasi dan film sebagai inti dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif dan positif dari kehadiran perusahan di kabupaten Merauke.
Pertanyaannya, mengapa Malind anim protes? Dan apa yang mendasari protes mereka? Pelbagai argumentasi menegaskan bahwa protes Malind anim ada hubungan dengan upaya gerakan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Ada juga yang melihat protes itu memiliki hubungan dengan gerakan sigo-sigo. Tapi menurut saya, protes itu memiliki dasar pada ide Malind anim tentang kehidupan yang harmonis, dan tuntutan Malind anim ambil tanggungjawab terhadap bumi (tanah) sebagaimana dalam tutur Malind: Namha Malind ko-oh. Malind makan ahan kamb. Ndom mambali amo hain makan ehe, makan epe ahan kame hasib” (Sekarang ini engkau adalah Malind anim. Tanah Malind adalah milikmu. Jika berbuat tidak baik terhadap tanah ini, dia akan membunuhmu).
Tuntutan adaptasi, kerja bersama dan emansipasi
Dalam diskursus teori ekonomi pembangunan, ada tiga hal yang dibutuhkan untuk memperkuat akuntabilitas pembangunan untuk kesejahteraan bersama, yaitu adaptasi, kerja bersama dan emansipasi.
Dalam konteks pembangunan di Merauke, pemerintah dan perusahaan atau pelaku ekonomi lainnya, dalam setiap kebijakan dan tindakan, perlu mempertimbangkan konteks kehidupan Malind anim dimana lingkungan hidup dan tanah adalah inti kehidupan mereka. Malind anim memiliki peran penting dalam melindungi masa depan kita di planet ini. Bekerja sama dengan Malind anim justru akan memudahkan implementasi kebijakan pemerintah dan pekerjaan perusahaan di Merauke. Artinya, mengadopsi nilai budaya dan pengetahuan Malind anim sebagai cermin dari kebijakan adaptif pemerintah demi menciptakan kesejahteraan bersama yang dicita-citakan di Merauke. Hal ini sangat jelas dimuat dalam Konstitusi Indonesia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (2007) dan Prinsip-Prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dam hak asasi manusia (2011). Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu memikirkan bagaimana mengadopsi gagasan pembangunan Malind anim, dan bekerja sama dengan mereka demi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Sehingga, seperti yang digagas oleh Linda Tuhiwai Smith dalam bukunya Decolonizing Methodelogies (1999), yang dibutukan juga adalah ruang emansipasi Malind anim. Melalui gerakan protes Forum Malind Kondo-Digoel, Sasi Mayan dan Tiga Buta itu, Malind anim mengisyaratkan ruang emansipasi. Ruang emansipasi membutukan pengakuan dan rasa hormat terhadap keberadaan Malind anim sebagai penduduk asli di Merauke. Tanpa pengakuan dan rasa hormat itu, kebijakan pembangunan yang dirancang atau disipakan oleh pemerintah akan gagal, dan memiliki dampak yang merusak lingkungan dan identitas budaya masyarakat adat Malind, bahkan menjadi wajah kolonialsime baru. Mengapa begitu penting ruang emansipasi Malind anim? Emansipasi menjadi ruang dimana pembangunan itu ikut dipimpin dan didorong oleh Malind anim sebagai penduduk asli kabupaten Merauke.
Dalam konteks pembangunan, emansipasi menuntut, bahkan mendesak pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menggunakan pendekatan Malind anim sebagai potensi transormatif pembangunan ekonomi di Merauke. Pendekatan Malind anim perlu dilihat sebagai salah satu solusi dalam membangun Merauke yang bermartabat. Apa itu pendekatan Malind anim untuk pembangunan?
Tiga pilar pendekatan Malind anim untuk pembangunan
Nakali, nakalu dan ilham adalah tiga pilar pendekatan Malind anim yang dapat dipakai dalam mentransformasi pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan di Merauke. Tiga pilar ini sebagai potensi transormatif pembangunan di Merauke. Apa yang dimaksud dengan nakali, nakalu dan ilham? Dalam kebudayaan masyarakat adat Malind, nakali, nakalu dan ilham adalah nilai pilar kehidupan yang mengatur tatanan kehidupan dimana membentuk pola-pola hubungan kekerabatan, nilai dan norma adat, serta aturan-aturan adat seperti berburu, menangkap ikan di sungai dan di laut, memetik buah kelapa dan lain-lain.
Nakali, nakalu dan iham dihidupi oleh Malind anim dimana seluruh mahkluk hidup yang di dalam Unam (alam) ini mempunyai hubungan kekerabatan satu sama yang lain dan yang satu membutuhkan yang lain, sehingga harus dilestarikan. Istilah bahasa Malind “kamopha katalob-la es-hanid naggo” (“agar kehidupan ini dapat berlangsung terus”). Hubungan ini merupakan satu kesatuan yang kompak dan jika salah satu mata rantai ini terputus atau diputuskan, maka akan terjadi malapetaka. Ungkapan dalam bahasa Malind “samb milah kame-wa kewai”, atau dalam bahasa Indonesia, “Seluruh tatanan ini akan rusak berantakan”.
Dasar pemikiran yang terkandung di dalamnya adalah semua yang ada dalam dunia ini mengikuti tahap kehidupan dari lib (lahir) hingga akhirnya kahwid (mati). Hanya manusia membedakan diri dari semuanya ini karena Anim mayan atau anim mean (atau bahasa manusia, berbicara seperti manusia). Perbedaan ini bukan karena Wi (jiwa), yang juga dipunyai mahluk lain, tetapi karena Mean/mayan (bahasa). Manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Unam (bumi) ini, khususnya dengan makan/bumi ini, maka dalam adat Malind, tanah tidak boleh diperjualbelikan atau dirusak, karena tanah dan manusia itu adalah satu dan melekat. Jika tanah dirusak, manusia sendiri akan punah.
Untuk lebih mengerti pernyataan-pernyataan di atas ini, saya perlu menjelaskan istilah “Nakali, Nakalu, dan Iham”:
Pertama, hubungan kekerabatan antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan, disebut Iham. Iham ini dapat disamakan dengan istilah totem oleh para antropolog. Totem ini terbagi dalam hewan totem (totem animal); benda totem (totem material); tumbuh-tumbuhan Totem (Totem plant). Misalnya, klan Gebze memiliki totemnya adalah tanah, manusia, kelapa, pisang, tumbuh-tumbuhan hutan, tebu, umbi-umbian; klan Kaize memiliki totemnya adalah api, akar wati, kasuari; klan Mahuze memiliki totem: orang laki-laki, matahari, bulan purnama, anjing, cendrawasih, elang, ular hitam, lipan, sagu, dan bambu; klan Basik-basik memiliki totemnya adalah air, orang perempuan, ayam hutan, pinang, ikan-ikan, buaya, halilintar atau petir, bulan sabit, kasuari, api.
Kedua, hubungan kekerabatan antara hewan dan tumbuh-tumbuhan, hewan dan hewan, disebut Nakali. Contoh kekerabatan antara hewan dengan tumbuh-tumbuhan: Kanamin (semut kelapa) adalah nakali dari Kelapa; zyohe atau ikan sembilan, kilub atau ikan duri, saleh atau udang dan wakin atau udang mini/kerdil adalah nakali dari Nggagul (sejenis pohon bakau) dan lain-lain. Contoh (hewan dengan hewan): Kakuhale atau sejenis burung, adalah nakali dari Buaya.
Ketiga, tumbuh-tumbuhan dengan tumbuh-tumbuhan; hewan dengan hewan disebut Namik (bersaudara). Contoh: Tebu dengan berbagai jenis tebu lainnya adalah Namik, termasuk disini kapatu atau tebu ikan, tat atau bahan untuk tangkai panah; ohal, kasim (jenis-jenis gelagah) mereka ini bersaudara (Namik). Ada saudara jauh, saudara dekat, tetapi tidak bersaudara dengan Nggu (jenis gelagah). Namik dari Nggu adalah Haikla, Palak/ Parak, Wib, Yulha (jenis gelaga berdaun lebar tanpa batang, seperti bawang tetapi besar). Hewan: Kalambu (ikan bulanak tidak lompat/terbang) dengan Oyay (ikan bulanak lompat/ terbang) dan seterusnya.
Manusia dengan manusia sudah jelas: bapa, mama, kakek, nenek, dan saudara-saudara lainnya, ipar. Tetapi, dalam hubungan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat dipanggil dengan “Nakalu” ini adalah kata sifat singular dari kata: Nakali yang adalah jamak dari kata: Nakalu. Istilah Nakalu ini dipakai untuk saudara perempuan, dalam arti penolong bagi saudara laki-laki. Kata bahasa Malind untuk saudara perempuan adalah: Namuk, (kata sifat femininum singularis/ singular), sedangkan saudara laki-laki adalah Namek, kata sifat maskulinum singular, dan jamaknya adalah Namik. Sebagaimana manusia bersaudara begitupun hewan bersaudara dan tumbuh-tumbuhan juga bersaudara, itu baru disebut Namik. Bersaudara dalam hal ini saudara satu keturunan saudara jauh. Dalam Bahasa Indonesia ini lazim disebut “sejenis”. Contoh pohon bus (bus putih/ Eucalypthus) dengan pohon kiwin (bus merah), dua pohon ini adalah Namik itu bersaudara, saudara-saudara lainnya sejenisnya, adalah pohon simbim (jenis bus) dan pohon palpolu (jenis bus), wamb (jenis bus), kes (jenis bus). Ada yang disebut saudara dekat dan saudara jauh dan seterusnya.
Oleh karena itu, tiga pilar pendekatan Malind anim yang ditawarkan untuk pembangunan di Merauke adalah pmebangunan yang holistik dimana didasari pada relasi kekerabatan. Pembangunan harus untuk menghidupi semua, bukan hanya manusia, tetapi juga hewan, tubuh-tumbuhan dan semua unsur. Tindakan manusia membangun adalah tindakan untuk merawat dan menghidupkan semua. Bukan untuk merusak. ***