Hutan Papua merupakan salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun, ancaman deforestasi akibat proyek pembangunan yang masif, seperti Food Estate, telah menimbulkan kekhawatiran besar terkait keberlanjutan lingkungan, pelanggaran hak masyarakat adat, dan komitmen Indonesia terhadap norma global. Dalam beberapa tahun terakhir, meski laju deforestasi nasional dilaporkan menurun sebesar 75% pada 2019–2020 (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], 2021), kenyataan di Papua menunjukkan cerita berbeda. Proyek Food Estate, yang bertujuan meningkatkan ketahanan pangan nasional, menjadi pemicu utama pembukaan lahan besar-besaran di wilayah ini, menimbulkan dampak ekologis dan sosial yang signifikan.
Latar Belakang Proyek Food Estate di Papua
Sejak era Presiden Soeharto, program-program pembangunan berbasis pembukaan lahan seperti Proyek Lahan Gambut (PLG) dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) kerap dijalankan tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Proyek Food Estate, yang melibatkan 1,2 juta hektar hutan Papua (Madani Insight, 2021), kembali mengangkat isu serupa. Proyek ini berpotensi menyebabkan kerusakan permanen pada ekosistem hutan tropis yang kaya, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut Save Our Borneo (2021), di Kalimantan Tengah, pelaksanaan proyek serupa telah membuka 700 hektare hutan tanpa izin dan analisis dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai. Hal ini menunjukkan pola pelaksanaan proyek yang mengabaikan prosedur, melibatkan eksploitasi besar-besaran, dan berisiko melanggar hak masyarakat lokal.
Dampak Lingkungan: Kehilangan Hutan dan Keanekaragaman Hayati
Data dari Madani Insight (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 4 juta hektare tutupan hutan di Papua berpotensi hilang akibat ekspansi lahan. Sebagian besar pembukaan lahan ini berada dalam area konsesi yang legal, tetapi tidak berkelanjutan. Dampaknya mencakup:
- Kehancuran Ekosistem: Hutan Papua merupakan habitat spesies endemik seperti burung cenderawasih. Pembukaan lahan mengancam kelangsungan hidup spesies ini dan merusak siklus ekologi hutan.
- Emisi Gas Rumah Kaca: Konversi hutan menjadi lahan perkebunan menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
- Krisis Air: Pembukaan lahan berskala besar juga merusak tata air alami, menyebabkan kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan.
Dalam laporan yang sama, hilangnya hutan sekunder mencakup 104.590 hektare pada 2019–2020. Namun, reforestasi hanya mencapai 5,7% dari angka ini, menandakan rendahnya upaya pemulihan (Madani Insight, 2021).
Pelanggaran Norma Global dan Komitmen Iklim
Sebagai negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi hutan sebagai bagian dari komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca. Namun, pelaksanaan proyek Food Estate bertentangan dengan tujuan ini. UU Cipta Kerja, yang memberi keleluasaan dalam konversi lahan untuk proyek strategis nasional, menjadi salah satu pemicu utama lonjakan deforestasi.
Moratorium hutan yang seharusnya melindungi hutan primer dan lahan gambut tidak diterapkan pada proyek Food Estate. Celah ini memungkinkan eksploitasi hutan tanpa kontrol ketat, sehingga menciptakan risiko bagi keberlanjutan ekosistem hutan Papua.
Pelanggaran Hak Masyarakat Adat
Hutan Papua tidak hanya menjadi rumah bagi flora dan fauna, tetapi juga bagi masyarakat adat yang hidup bergantung pada sumber daya hutan. Proyek Food Estate sering kali dilakukan tanpa konsultasi atau persetujuan masyarakat adat. Dalam beberapa kasus, masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah leluhur mereka, menyebabkan dampak sosial yang mendalam, termasuk hilangnya identitas budaya dan peningkatan konflik lahan.
Menurut Save Our Borneo (2021), pendekatan pemerintah yang tidak inklusif terhadap masyarakat adat berpotensi melanggar Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang menekankan pentingnya persetujuan bebas, didasarkan informasi, dan sebelumnya (free, prior, informed consent atau FPIC) sebelum proyek besar dilaksanakan.
Dampak Sosial-Ekonomi: Masyarakat Lokal Terpinggirkan
Selain pelanggaran hak, masyarakat lokal juga mengalami kerugian ekonomi. Kehilangan hutan berarti hilangnya sumber daya penting, seperti air bersih, hasil hutan non-kayu, dan tanaman obat tradisional. Bagi banyak komunitas adat Papua, hutan adalah sumber penghidupan sekaligus bagian integral dari budaya mereka.
Kehadiran proyek Food Estate yang didominasi oleh perusahaan besar sering kali tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal. Sebaliknya, mereka menghadapi penggusuran dan kehilangan akses terhadap lahan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun.
Solusi dan Rekomendasi: Menghentikan Laju Kerusakan
Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, langkah-langkah konkret harus segera diambil:
- Penguatan Kebijakan Perlindungan Hutan: Pemerintah perlu memperkuat moratorium hutan dengan memasukkan hutan sekunder yang rentan dalam perlindungan.
- Revisi UU Cipta Kerja: Menghapus ketentuan yang memperlemah perlindungan hutan dalam konteks proyek strategis nasional.
- Penghentian Proyek Food Estate di Wilayah Kritis: Proyek ini harus dievaluasi kembali, khususnya di kawasan seperti Papua yang memiliki ekosistem sensitif.
- Reforestasi dan Pemulihan Ekosistem: Program reforestasi yang lebih ambisius diperlukan untuk mengimbangi laju deforestasi.
- Pelibatan Masyarakat Adat: Masyarakat lokal harus diberi peran aktif dalam pengelolaan hutan dan pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan.
Deforestasi hutan Papua akibat proyek Food Estate merupakan contoh nyata bagaimana pembangunan yang tidak berkelanjutan dapat merusak ekosistem, melanggar norma global, dan menciptakan ketidakadilan sosial. Sebagai salah satu paru-paru dunia, hutan Papua tidak hanya penting bagi Indonesia tetapi juga bagi keseimbangan ekologi global.
Komitmen pemerintah untuk melindungi hutan harus diikuti dengan tindakan nyata yang berpihak pada lingkungan dan masyarakat lokal. Tanpa langkah-langkah tersebut, masa depan hutan Papua dan masyarakat adat yang bergantung padanya berada dalam ancaman serius. (Oleh: Faustina Rosalia Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Referensi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2021). Laju Deforestasi Indonesia Turun 75,03%. [Diakses dari: <https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5848/lajudeforestasi-indonesia-turun-7503>]
Madani Insight. (2021). Mengupas Fakta Di Balik Deforestasi Indonesia 2019-2020. [Diakses dari: madaniberkelanjutan.id]
Save Our Borneo. (2021). Food Estate Gagal, Masih Mau Dilanjutkan?. [Diakses dari: <https://saveourborneo.org/food-estate-gagal-masih-mau-dilanjutkan/>]
Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020. Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan.
United Nations. (2007). United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). [Diakses dari: <https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/wp-content/uploads/sites/19/2018/11/UNDRIP_E_web.pdf>]