Jakarta, CNN Indonesia – Rencana pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan jalan berbayar elektronik (JBE) dengan membangun 18 koridor di jalan protokol mendapatkan tanggapan berbeda-beda.
Beberapa warga Jakarta memandang penerapan tarif tersebut tidak akan efektif membuat minat masyarakat dalam menggunakan transportasi umum meningkat.
Sebagai informasi, Pemprov DKI Jakarta berencana menerapkan JBE di 18 koridor jalan dengan panjang 174,04 kilometer. JBE akan diberlakukan untuk motor roda dua, mobil maupun truk. Pengendara yang meminta jalan tersebut akan dikenakan tarif sebesar Rp5-19 ribu.
Salah seorang driver online, Ihsan (39), menyebut besaran tarif itu tidak terjangkau bagi masyarakat kecil. Menurutnya, tarif sebesar itu akan membuat orang berpikir ulang.
Sebagai driver online, Ihsan mengaku mendapatkan bayaran sekitar Rp9.600 per trip. Jika harus mengeluarkan lagi uang Rp5.000 untuk melintasi koridor tersebut, ia hanya mengantongi uang sebesar Rp4.500.
“Kalau Rp5 ribu berat juga sih buat rakyat kecil. Kalau berkali-kali lewat kan, nganter ya sampai 20 ribu, kalau tiga sampai empat kali,” ujar Ihsan saat ditemui di tepi Jalan Pejaten Raya Barat, Jati Padang, Pasar Minggu Jakarta Selatan saat ditemui CNNIndonesia.com, Jumat (17/12).
Ihsan juga menyarankan agar kualitas dan kuantitas transportasi umum di Jakarta ditingkatkan. “Mendingan kayak gitu transportasi ditingkatin, diperbanyak atau gimana.”
Warga Ragunan, Adi (43) mempertanyakan rencana pembangunan koridor jalan tersebut. Adi mengaku belum memahami apakah Pemprov DKI Jakarta hendak membangun koridor untuk JBE di jalan protokol yang telah ada atau membangun jalan baru. Jika membangun koridor di jalan protokol yang telah ada sebagaimana jalur khusus Trans Jakarta, kata dia, rencana tersebut justru akan menambah kemacetan.
“Apakah tidak akan membuat beban kemacetan lagi di jalan? Sekarang nggak usah jauh-jauh, adanya busway itu sudah memakan badan jalan,” kata Adi yang ditemui di tepi Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.
Selain itu, Adi mengatakan jalan tersebut dibangun menggunakan pajak masyarakat. Ia merasa keberatan jika koridor JBE dibangun di atas jalan tersebut dan publik harus kembali membayar setiap hendak melintas.
“Dia harus bikin jalan sendiri tidak dengan jalan umum, artinya jalan Ampera ini sudah jalan umum, yang lewat sini pun orang-orang yang membayar pajak,” kata Adi.
“Harus dipikirkan ulang sih yang kayak gitu. Karena intinya jangan sampai kita menyelesaikan masalah, akhirnya timbul masalah baru,” tambahnya.
Seorang petugas keamanan di kawasan Jalan Ampera Raya, Marzuki (43) menilai rencana itu tidak akan efektif. Sebab, hingga saat ini transportasi umum yang disediakan Pemprov DKI Jakarta, Transjakarta masih terjebak macet sehingga animo warga naik moda angkutan massal itu tak serta merta berubah.
“Saya bilang kurang efektif. Ya karena lihat saja sekarang transportasi umum kadang masih kena macet, kadang bejubel itu kan. Kayak TJ sering kejebak. Kalau buat efektifnya saya bilang, enggak akan bisa,” kata Marzuki.
Marzuki menyarankan agar Pemprov DKI akarta meningkatkan fasilitas jalan dan transportasi umum terlebih dahulu. Hal ini seperti mengatasi kemacetan di persimpangan dan putar balik, alih-alih penerapan jalan berbayar elektronik.
Salah seorang pegawai swasta, Yuni Zara (23) menilai rencana Pemprov DKI Jakarta menerapkan JBE untuk meningkatkan minat pada transportasi umum bisa efektif. Menurut Yuni, saat ini transportasi umum di DKI jakarta sudah sangat baik dibanding beberapa tahun sebelumnya. Pemprov DKI Jakarta, kata dia, juga menyediakan Jak Lingko.
“Bisa jadi mereka [pengguna kendaraan pribadi] juga ‘ah ngapain ngeluarin uang mending naik transportasi umum’,” kata Yuni saat ditemui di halte Jalan Raya Ragunan, Jakarta Selatan. (iam/kid)