Metro – Kuasa Hukum KPU Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, Matheus Mamun Sare menyatakan pemohon dalam persilihan hasil pemilihan kepala daerah atau pilkada Nduga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau MK.
Pernyataan itu disampaikan Matheus Mamun Sare dalam sidang di MK yang dipimpin hakim konstitusi, Suhartoyo pada Kamis, 30 Januari 2025, dengan agenda sidang mendengarkan jawaban termohon, keterangan pihak terkait dan keterangan Bawaslu serta pengesahan alat bukti para pihak.
Dalam sidang persesilihan hasil pemilihan umum atau PHPU Bupati dengan Perkara Nomor 242/PHPU.BUP-XXIII/2025, pemohon adalah calon Bupati dan calon Wakil Bupati Nduga nomor urut 01, Namia Gwijangge-Obed Gwijangge dan termohon adalah KPU Kabupaten Nduga.
Matheus Mamun Sare mengatakan, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan gugatan ke MK, sebab perolehan suara termohon tidak memenuhi ambang batas syarat mengajukan permohonan.
Ambang batas pengajuan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada) sebagaimana ketentuan Pasal 158 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, yaitu kabupaten/kota dengan jumlah penduduk dibawah 250 ribu jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
“Menurut termohon, pemohon tidak miliki kedudukan hukum untuk mengajukan perselisilihan perolehan suara hasil pilkada Nduga dengan alasan tidak memenuhi ambang batas syarat mengajukan permohonan hasil pilkada di Nduga tahun 2024,” kata Matheus Mamun Sare.
Menurut termohon, permohonan pemohon tidak jelas atau kabur dengan alasan, pemohon tidak menguraikan kesalahan hasil perolehan suara yang ditetapkan termohon dan hasil perolehan suara yang benar oleh pemohon, dan penghitungan suara pemohon tidak jelas.
Selain itu lanjut Matheus Mamun Sere, dalam pokok permohonannya, pemohon mendalilkan adanya pemindahan TPS, posita dan petitum terhadap jumlah distrik dan total suara tidak sah, namun dalil itu tidak sesuai satu dengan yang lain.
“Pemohon tidak jelas dalam menguraikan tentang dalil perampasan suara. Dalam posita dan petitum, pemohon tidak konsisten mendalilkan perolehan suara dan tidak menguraikan seluruh distrik di Kabupaten Nduga,” ucapnya.
Katanya, termohon menolak dengan tegas permohonan yang disampaikan pemohon, dan semua pelaksanaan pilkada di Nduga berjalan lancar dan tidak ada rekomendasi dari Bawaslu.
“Setelah kami cermati pemohon mengakui perolehan suara oleh termohon tapi menyatakan bahwa perolehan suara milik termohon itu adalah milik dia, tapi berdasarkan rekapitulasi pemohon sendiri,” ujarnya.
Kuasa hukum KPU Nduga, Matheus Mamun Sare menyimpulkan ini berarti termohon mengambil kewenangan KPU. Karena sesuai aturan undang-undang pemilu, dalam pemilihan yang berwenang melakukan rekapitulasi adalah KPU. Bawaslu bahkan mahkamah pun tidak memiliki kewenangan.
Berdasarkan seluruh uraian itu, termohon memohon kepada majelis hakim MK untuk menjauhkan keputusan, yaitu mengabulkan eksepsi termohon seluruhnya.
Menyatakan permohonan termohon tidak dapat diterima, dalam pokok perkara menolak seluruh permohonan termohon dan menyatakan benar dan tetap berlaku keputusan KPU Kabupaten Nduga Nomor 829 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Nduga tahun 2024 pada 7 Desember 2024.
“Apabila MK berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya,” kata Matheus Mamun Sare.
KPU Nduga menetapkan pasangan nomor urut 02, Dinar Kelnea-Yoas Beon sebagai pemenang pilkada Nduga 2024 dengan perolehan suara 51.815 atau 52,88 persen.
Sedangkan pasangan nomor urut 01, Namia Gwijangge-Obed Gwijangge (NAMED) hanya memperoleh 46.167 ribu suara atau 47,12 persen, selisih 5.648 suara dari jumlah Daftar Pemilih Tetap atau DPT sebanyak 97.982. (Arjuna)