Bupati Jayapura Minta Presiden Hadiri Kongres Masyarakat Adat

Bupati Jayapura Mathius Awoitauw memberikan keterangan usai pertemuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (20/5/2022). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/Rusman

Metro Merauke – Bupati Jayapura Mathius Awoitauw meminta Presiden RI Joko Widodo menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada Oktober mendatang di Papua.

Usai pertemuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat, Mathius mengatakan bahwa kegiatan yang menyatukan masyarakat adat seluruh Indonesia tersebut menjadi simbol persaudaraan dan kekeluargaan.

Bacaan Lainnya

“Bapak Presiden kami minta untuk hadir untuk membuka (acara) dan itu akan terjadi persaudaraan kekeluargaan. Jadi, tidak ada perbedaan agama, suku bangsa, yang selama ini secara nasional terus diperbincangkan,” kata dia seperti ditayangkan melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.

Mathius yang mewakili Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat itu menjelaskan rencana pelaksanaan KMAN VI pada tanggal 24—29 Oktober 2022.

Sebanyak 6.000 sampai 8.000 orang yang merupakan masyarakat adat dari seluruh Indonesia hadir di Papua dengan menampilkan pameran dan panggung seni budaya dari wilayah asal.

“Itu bisa sampai 8.000 orang dari seluruh Indonesia, hadir di Papua, tinggal di rumah-rumah masyarakat,” kata Mathius.

Berdasarkan informasi dari situs resmi Kabupaten Jayapura, KMAN VI akan diselenggarakan di wilayah Tanah Tabi. Seluruh peserta akan menempati rumah penduduk dan membuat sarasehan sebagai rangkaian kegiatan kongres.

Adapun Tanah Tabi merupakan salah satu daerah yang diusulkan untuk pemekaran provinsi dalam pembentukan daerah otonomi baru (DOB) di Provinsi Papua.

Dalam pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo, Mathius menjelaskan rencana pembentukan daerah otonomi baru merupakan aspirasi murni warga Papua sejak lama. Papua Selatan, misalnya, telah memperjuangkan selama 20 tahun.

“Jadi, ini bukan hal yang baru muncul tiba-tiba. Akan tetapi, ini adalah aspirasi murni, baik dari Papua Selatan maupun Tabi, Saereri, La Pago, dan Mee Pago,” katanya.

Mathius menekankan bahwa Undang-Undang Otonomi Khusus itu mengikat semua masyarakat di seluruh tanah Papua, dan memberikan kepastian hukum untuk mengelola ruang-ruang yang dimiliki masyarakat adat berdasarkan tujuh wilayah adat di tanah Papua. (Antara)

Untuk Pembaca Metro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *