Tokoh Papua Akan Gugat Hasil Penetapan Sekda Papua

Metro Jayapura – Sejumlah tokoh Papua akan menggugat hasil penetapan Sekretaris Daerah atau Sekda Papua.

Satu di antara tokoh masyarakat Papua, Deerd Tabuni mengatakan pihaknya berencana melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Rencana ini muncul karena penetapan Sekda Papua oleh Presiden dinilai tidak sesuai hasil seleksi yang dikeluarkan Panitia Seleksi.

Bacaan Lainnya

Mantan Ketua DPR Papua itu mengatakan rakyat Papua menolak penetapan Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua. 

Penetapan itu melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor: R.314/Adm/TPA/09/2020 perihal salinan Kepres nomor 159/TPA tahun 2020 tentang pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Provinsi Papua.

Pernyataan itu dikatakan Deerd Tabuni dalam keterangan pers bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh kaum milenial, dan tokoh intelektual di Kota Jayapura, Minggu (01/11).

“Kami akan menggugat, membawa masalah ini ke PTUN Jakarta. Meminta supaya ada putusan hukum. Kami tidak diam, kami minta Sekda yang dilantik mesti sesuai hasil nilai seleksi Pansel yang diketuai Akmal Kamal Malik dari Kemendagri,” kata Deerd Tabuni. 

Ia mengatakan, sesuai hasil seleksi Pansel tiga nama calon Sekda Papua yang mendapat nilai tertinggi. Doren Wakerkwa, SH berada pada peringkat pertama dengan nilai 74,99, disusul Drs. Demianus Wausok Siep dengan nilai 67,49 dan Dance Yulian Flassy, SE. Msi yang berada pada peringkat ketiga mendapat nilai 67,30.

“Kami semua sepakat memohon kepada Presiden segera meninjau Kepres yang tak sesuai hasil seleksi Pansel. Rakyat Papua mau, yang dilantik sebagai Sekda adalah Doren Wakerkwa. Ia yang mendapat nilai tertinggi sesuai hasil Pansel,” ujarnya.

Katanya, penolakan tidak hanya berasal dari sekelompok orang. Akan tetapi berasal dari berbagai kalangan rakyat Papua di 28 kabupaten dan satu kota. 

Ia menduga, ditetapkannya Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Papua karena ada oknum-oknum yang bermain untuk kepentingannya.

Kata Deerd, Pemerintah Pusat telah membentuk Pansel menyeleksi calon Sekda Papua. Pansel telah melaksanakan tugasnya, dan menghasilkan tiga nama. 

Gubernur Papua dan DPR Papua kemudian mengusulkan tiga nama itu ke Presiden melalui Kemendagri. Akan tetapi yang ditetapkan justru calon sekda dengan nilai terendah.

“Kami masyarakat Papua di 29 kabupaten-kota mengikuti semua proses tahapan seleksi yang dilakukan Pansel. Kami minta yang ditetapkan adalah calon sekda dengan nilai tertinggi, bukan nilai terendah,” ujar Deerd.

“Ini permainan dari mana? Makanya kami tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda menolak sekda yang telah ditetapkan.”

Para Tokoh Papua menolak penetapan Sekda Papua

Tokoh kaum milenial Papua, Beny Kogoya mengatakan keputusan penetapan Sekda Papua adalah hak prerogatif Presiden. Akan tetapi, pihaknya menolak oknum yang ditetapkan sebagai sekda karena tidak sesuai hasil seleksi.

“Yang kami tolak adalah oknumnya. Mestinya dilihat dari nilai hasil seleksi. Kita tahu rekam jejak orang yang diangkat ini. Tidak akan bisa bekerjasama dengan gubernur dan wakil gubernur,” kata Beny Kogoya.

Katanya, pihaknya tidak mempermasalahkan siapapun yang diangkat menjadi Sekda Papua. Apakah dia orang asli Papua atau bukan, selama sesuai hasil seleksi. Juga memiliki kemampuan membantu gubernur dan wakil gunernur menjalankan pemerintahan di Provinsi Papua.

“Sistem pemerintahan jangan disusupi kepentingan politik. Kami duga ada pihak bermain untuk kepentingan tertentu. Kepres pengangkatan Sekda Papua mesti ditinjau karena tidak sesuai nilai hasil seleksi,” ucapnya.

Ia berpendapat, situasi ini akan menjadi contoh buruk. Dapat mempengaruhi psikologi kaum milenial Papua. 

Ke depan kaum milenial di Bumi Cenderawasih tidak akan percaya diri terhadap kemampuannya saat akan mengikuti seleksi di berbagai institusi dan lembaga negara.

Misalnya ketika akan mendaftar sebagai calon anggota TNI, calon anggota Polri, dan Calon Aparatur Sipil Negara atau CASN.

Katanya, kaum milenial Papua akan berpikir kalaupun mereka mendapat nilai tinggi saat seleksi, tidak menjamin kelulusan. Mereka yang mendapat nilai rendah justru berpotensi lulus karena memiliki kenalan dalam sistem atau alasan lain.

“Jangan kesannya ada unsur politik dalam birokrasi. Orang yang nilainya rendah ditunjuk menjadi sekda. Kepres perlu ditinjau, dan penetapan Sekda Papua mesti sesuai nilai hasil seleksi. Ini secara tidak langsung membunuh karakter kita kaum milenial,” ujarnya. (Arjuna)

UNTUK PEMBACA METRO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *