Metro Jayapura – Berbagai kalangan di Papua menyatakan menolak Dance Yulian Flassy sebagai Sekretaris Daerah atau Sekda Papua.
Dance Yulian Flassy ditetapkan sebagai Sekda Papua beberapa waktu lalu melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor: R.314/Adm/TPA/09/2020 perihal salinan Kepres nomor 159/TPA tahun 2020 tentang pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Provinsi Papua.
Satu di antara tokoh intelektual Papua, Yan Wenda mengatakan ada beberapa alasan pihaknya menolak penetapan yang bersangkutan sebagai Sekda di Bumi Cenderawasih.
Menurutnya, salah satu alasannya karena mantan Sekda Kabupaten Tolikara, Papua dan Sekda Kabupaten Sorong Selatan (Sorsel), Papua Barat itu dianggap memiliki rekam jejak birokrasi yang tidak memadai.
“Beberapa tahun lalu, ia pernah menjabat Sekda di Kabupaten Tolikara. Akan tetapi baru sekitar tujuh bulan menjabat, atau sebelum masa jabatannya berakhir, ia meninggalkan Tolikara,” kata Yan Wenda dalam keterangan pers, Minggu (01/11).
Katanya, Dance Yulian Flassy kemudian memilik berkarir di Kabupaten Sorong Selatan sebagai Sekda. Akan tetapi sebelum masa jabatannya di sana berakhir, yang bersangkutan mengikuti seleksi calon Sekda Papua.
“Kalau rekam jejaknya seperti ini, berarti ada masalah dalam karir birokrasi orang itu,” ucapnya.
Alasan lain pihaknya bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, para kaum milenial dan masyarakat akar rumput menolak penetapan Sekda Papua, karena tidak sesuai hasil penilaian Panitia Seleksi (Pansel).
Yan Wenda mengatakan, pihaknya mengikuti proses seleksi oleh Timsel Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sejak awal. Dari 10 nama yang ikut seleksi, lima orang dinyatakan masuk lima besar. Timsel kemudian menetapkan tiga peserta lolos tiga besar.
Sesuai perolehan nilai saat seleksi, Doren Wakerkwa, SH mendapat nilai tertinggi, yakni 74,99 disusul Drs. Demianus Wausok Siep dengan nilai 67,49 dan Dance Yulian Flassy, SE. Msi yang berada pada peringkat ketiga mendapat nilai 67,30.
“Tiga nama inilah yang dikirim ke tim penilai akhir. Mestinya tim penilai akhir berkoordinasi dengan Pemprov Papua sebelum menentukan siapa yang akan direkomendasikan kepada Presiden sebagai Sekda Papua,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika akhirnya yang ditetapkan sebagai Sekda Papua adalah orang yang mendapat nilai terendah, apa gunanya adanya Pansel dan tahapan seleksi.
Pihaknya menduga, ada oknum dalam tim penilai akhir yang bermain untuk kepentingan tertentu. Skenario ini disinyalir telah diatur sejak awal dan tahapan seleksi hanyalah formalitas.
“Kami menduga ini sudah diseting karena begitu Kepres keluar, menyebar cepat di grup aplikasi pesan singkat dan media sosial. Seakan menggiring opini publik. Kami akan surati Presiden agar meninjau kembali Kepres penetapan Sekda Papua,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Suku Wilayah Adat Lapago, Paus Kogoya menyatakan mendukung penolakan berbagai kalangan itu.
Ia mengatakan negara mesti memahami kondisi di Papua. Dalam berbagai hal Negara memiliki aturan perundang-undangan yang mesti ditaati.
“Negara yang membuat undang-undang, jadi jangan dilanggar sendiri. Kami mau anak kami sendiri di Papua yang menjadi Sekda. Saya berharap, Presiden menghargai itu,” kata Paus Kogoya.
Katanya, sebagai kepala suku yang membawahi 10 kabupaten, ia selalu berupaya membantu menciptakan keamanan di wilayah Papua yang dianggap daerah merah.
Ia berpendapat, situasi seperti inilah yang membuat banyak orang Papua menyuarakan pemisahan diri dari negara. Itu terjadi karena negara sendiri yang menyulut apinya.
“Kalau kita tidak saling menghargai, tidak taat aturan yang dibuat sendiri, maka negara ini akan hancur. Saya minta Presiden melantik Doren Wakerkwa sebagai Sekda Papua. Selama ini saya tidak pernah menuntut sesuatu kepada negara,” ucapnya. (Arjuna)