Intelektual Papua Sampaikan Pokok Pikiran kepada Pansus Revisi UU Otsus

Metro Merauke – Salah satu intelektual Papua, Frans Maniagasi menyampikan beberapa pokok pikiran berkaitan rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus atau UU Otsus Papua.

Frans Maniagasi mengatakan, pokok pikiran itu ia sampaikan kepada Panitia Khusus atau Pansus revisi UU Otsus Papua di DPR RI, saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Jakarta, 3 Juni 2021.

Bacaan Lainnya

“Ada sepuluh pokok pikiran yang saya sampaikan dalam RDPU itu,” kata Frans Maniagasi dalam keterangan tertulis, Minggu (13/06/2021).

Menurutnya, pokok pikiran itu sebagai bentuk tanggung jawab moral, dan tanggung jawab intelektual terhadap salah satu permasalahan bangsa mengenai Papua.

Pokok pikiran itu dapat dijadikan masukan memperkaya revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus  Provinsi Papua.

Menurut Ketua Forum Sabang Merauke itu, beberapa pokok pikiran yang disampaikan, yakni UU Otsus merupakan win win solusi masalah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Otsus sebagai UU yang memiliki landasan konstitusional Pasal 18 A ayat (1), Pasal 18 B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan Tap IV/MPR/1999 dan Tap IV/MPR/2000. 

Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan dimasa Otsus selama ini, belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan. 

Belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Papua dan Papua Barat.

Salah satu kekurangan yang dirasakan selama 20 tahun penyelenggaraan Otsus Papua adalah kewenangan khusus. Pemprov Papua dan Papua Barat belum diberikan kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri. Berdasarkan aspirasi dan hak hak dasar masyarakat Papua, dan belum dijabarkan dalam bentuk peraturan pelaksanaannya. 

Katanya, penjabaran dalam bentuk Peraturan Pemerintah dapat menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Papua dan Papua Barat, berciri Otsus. 

Mengatur relasi dan kewenangan antara pemerintahan provinsi dengan kabupaten/kota, maupun antara pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat, sesuai ketentuan umum Pasal 1 butir (a) dan (b), serta Pasal 4 ayat (2).

“Untuk itu, dalam revisi ini agar dimasukan klausal tambahan pada Pasal 4, agar penjabaran dan pengaturan khusus dalam satu Peraturan Pemerintah,” ujarnya.

Selain itu kata Frans Maniagasi, hingga kini belum ada grand desaign tentang Otsus Papua. Ini menimbulkan kerancuan dalam penyelenggaraan pemerintahan berciri Otsus, sesuai UU Otsus dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.

Grand design Otsus dipandang sebagai hal penting dan tak terpisahkan dengan Peraturan Pemerintah, yang mengatur mengenai kewenangan khusus.

Hal lain, selama 20 tahun pelaksanaan Otsus, Majelis Rakyat Papua atau MRP, yang merupakan lembaga kultur orang asli Papua dan terdiri dari unsur adat, perempuan serta agama, kewenangannya belum dijabarkan. 

Belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 junto Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2008 tentang MRP atau Ketentuan Umum Pasal 1 huruf (g), pasal 19, pasal 20.

Padahal MRP memiliki “kewenangan tertentu” dalam rangka perlindungan hak hak orang asli Papua, berlandaskan penghormatan terhadap adat, budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam UU 21 Tahun 2001.

“Kewenangan tertentu inilah yang menjadi pedoman bagi MRP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Memberikan pertimbangan dan persetujuan, melakukan pengawasan terhadap hak hak dasar orang asli Papua, maupun terhadap pemanfaatan, pengawasan, hingga evaluasi Dana Otsus,” ucap Frans Maniagasi. (Arjuna)

UNTUK PEMBACA METRO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *