Ketua Komisi V DPRP: Tak Ada Niat Mencemarkan Nama Baik Rektor Uncen

Metro Merauke – Ketua Komisi V DPR Papua yang membidangi pendidikan, Timiles Jikwa menyatakan tidak berniat mencemuarkan nama baik rektor Universitas Cenderawasih (Uncen), Apolo Safanpo.

Pernyataan itu dikatakan Timiles menanggapi pemberitaan pernyataan Rektor Uncen di salah satu media online. 

Bacaan Lainnya

Dalam pernyataannya, Apolo Safanpo mengatakan jika ada pihak yang menerima laporan atau informasi suatu peristiwa, dan menyebarkan ke publik tanpa klarifikasi, dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.

Hal itu disampaikan Apolo Safanpo menanggapi pernyataan Timiles Jikwa sehari sebelumnya di media, yang menyebut Rektor Uncen diduga memerintahkan aparat keamanan membubarkan demonstrasi mahasiswanya, 27 Oktober silam.

Timiles mengatakan ia menyatakan dugaan itu karena menerima pengaduan dari mahasiswa. Mahasiswa menduga ada keterlibatan pihak kampus dalam pembubaran demonstrasi tersebut. 

Selain itu, juga ada rekaman video yang memperlihatkan mahasiswa berdialog dengan aparat keamanan. Dalam video itu aparat keamanan menyatakan berhak membubarkan demonstrasi tersebut. Rektor Uncen tidak mengizinkan adanya unjukrasa.

“Dalam pernyataan saya kan, saya katakan diduga. Tidak bermaksud menyebar hoaks. Kami hanya menyampaikan aspirasi mahasiswa. Kalau memang rektor tidak bicara ya panggil oknum aparat yang mengatakan itu dan tanyakan kepadanya,” kata Timiles Jikwa, Kamis (29/10).

Menurutnya, ia menyampaikan dugaan keterlibatan pihak kampus dalam pembubaran demonstrasi tersebut, juga bukan atas nama pribadi akan tetapi lembaga DPR Papua. 

Kata Timiles, sebelumnya ia juga telah mengirim video itu kepada Rektor Uncen. Mestinya yang bersangkutan mengklarifikasi langsung kepada pihaknya jika dugaan itu tidak benar. 

“Kalau Pak rektor merasa tidak menyampaikan itu, mestinya menjelaskan kalau itu tidak benar. Tidak mesti menyoroti kami dan menjelaskan hal yang tak ada kaitannya dengan pernyataan kami,” ucapnya.

Ia berpendapat, sebagai pimpinan tertinggi di universitas, rektor mestinya melindungi mahasiswanya. Selain itu, rektor merupakan mitra Komisi V DPR Papua sehingga pihaknya mesti mengingatkan jika ada hal yang dianggap keliru. 

“Jadi apa yang beliau klarifikasi mestinya sesuai dengan pernyataan kami. Bukan meluas menjelaskan berbagai produk hukum ini dan itu,” katanya.

Sekretaris Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, politik, keamanan, hukum dan HAM, Feryana Wakerkwa mengatakan hal yang sama.

Ia mengatakan, pernyataan rekannya tersebut atas nama lembaga bukan oknum. Katanya, jika rektor memang tak ada kaitannya dengan pembubaran demonstrasi itu, cukup menyatakan tidak. 

“Tapi dalam statemennya di media online itu seolah olah beliau mendikte kami,” kata Feryana.

Ketua Pansus Kemanusiaan DPR Papua itu mengaku, saat menemui demonstran pihaknya mendapat penjelasan kalau aksi tersebut bukan menolak Otsus.

Demonstran menyatakan aksi itu mendesak agar hasil kajian akademik Uncen yang telah diserahkan ke pihak terkait ditarik kembali. Mahasiswa menuntut itu, karena kajian tersebut dianggap bukan dihasilkan masyarakat akar rumput.

“Ini yang mesti digaris bawahi. Hasil kajian itukan bisa dipertanyakan sumbernya, karena tidak langsung dari masyarakat di bawah,” ucapnya.

Aparat Keamanan Saat Akan Membubarkan Demonstrasi Mahasiswa Uncen Jayapura pada 27 Oktober 2020 – IST

Selain itu, massa aksi juga menyampaikan jika aparat keamanan menghadang aksi mereka, atas instruksi rektor seperti yang terlihat dalam video.

“Kalau Pak Rektor mengangap kami DPR Papua melakukan pencemaran nama baik, mestinya beliau melihat dulu video itu baru klarifikasi. Tapi klarifikasi yang disampaikan di mediakan kan kesannya mau menggurui kami,” ujarnya.

Feryana menyesalkan jika benar ada keterlibatan pihak kampus dalam pembubaran unjukrasa itu. Hal itu dianggap sama saja membungkam ruang demokrasi bagi mahasiswa yang ingin berpendapat di muka umum.

Mestinya kata dia, rektor berperan sebagai orangtua yang mengayomi dan melindungi mahasiswa. Jika perlu, ketika ada aparat yang menghadang aksi mahasiswa, yang bersangkutan di depan sebagai tameng.

“Dengan begitu, adik-adik mahasiswa merasa bangga dan ada rasa memiliki. Selama ini adik-adik ini merasa seperti anak ayam yang kehilangan induknya,” katanya.

Uncen Disarankan Benahi Komunikasi Internal

Pernyataan senada juga disampaikan dua orang anggota DPR Papua lainnya, Alfred Anouw dan Mega Nikijuluw.

Keduanya menyarankan pihak Uncen sebaiknya membehani komunikasi antara rektor, dosen dan mahasiswa yang dianggap tidak terjalin baik selama ini. 

“Jangan justru mengeluarkan pernyataan seakan kami tidak paham situasi di lapangan. Seakan kami tidak tahu apa-apa. Kami turun ke lapangan dan bicara dengan para demonstran. Kami bicara atas nama lembaga DPR Papua. Kami bukan menyebarkan berita bohong,” kata Alfred.

Mega Nikijuluw mengatakan, sebagai seorang rektor atau orang tua di kampus, rektor mesti benar-benar harus mengayomi mahasiswa setiap saat. Harus menjadi tameng, atau perisai untuk mahasiswanya.

“Selama ini memang terlihat ada jarak antara rektor, dosen, dan mahasiswa. Ini mesti menjadi pelajaran bagi kita semua, agar ke depan itu tidak terjadi lagi,” kata Mega.

Rektor Uncen Tak Berwenang Memerintah Aparat Keamanan

Sementara itu, dalam pernyataan tertulisnya kepada media Rektor Uncen, Dr.Ir.Apolo Safanpo, ST.MT mengklarifikasi dugaan keterlibatannya dalam pembubaran demonstrasi mahasiswanya beberapa hari lalu. 

Ia mengatakan, rektor tidak memiliki wewenang memerintah aparat keamanan yang bertugas di lapangan. Rektor hanya bisa memerintah dosen, pegawai dan mahasiswa. 

“Jadi, kalau ada oknum anggota DPRP yang mendapat informasi yang belum tentu kebenarannya, sebaiknya dikonfirmasi dulu kepada pihak terkait,” kata Apolo Safanpo.

Menurutnya, ketika menerima laporan atau informasi tentang suatu peristiwa, sebaiknya mengklarifikasi terlebih dahulu informasi itu. Kalau langsung disebarkan ke publik tanpa klarifikasi, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.

Menurutnya, yang dimaksud kebebasan berpendapat dalam UU Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah, kebebasan untuk menyampaikan pendapat secara lisan maupun tertulis secara bertanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Katanya, UU ini mengatur setiap orang yang menyampaikan pendapat di muka umum, berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.

Menghormati aturan moral yang diakui secara umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

UU itu juga mengatur, penyampaian pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan.

Tidak ada peraturan perundangan yang mengatur penyampaian pendapat boleh dilakukan dengan memalang kampus, menghentikan aktivitas perkuliahan, mengusir dosen dan mahasiswa yang sedang kuliah keluar dari dalam kelas, dan menghentikan semua aktivitas akademik dan kegiatan administrasi di dalam kampus.

“Kita semua harus bisa memberikan edukasi kepada mahasiswa dan masyarakat. Memalang kampus, dan menghentikan seluruh kegiatan akademik di kampus adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia,” ucapnya.

Ia menambahkan, mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia dan di berbagai negara di dunia juga sering melakukan demonstrasi. Tetapi mereka tidak pernah melakukan aksi palang kampus. Demonstrasi harus dilakukan secara tertib dan tidak boleh anarkis. (Arjuna)

UNTUK PEMBACA METRO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *