Pembangunan Venue PON Diduga Sebabkan Rusaknya Hutan Bakau

Metro Merauke –  Pembangunan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-20 Papua, di kawasan Teluk Youtefa, Kota Jayapura diduga merusak hutan bakau di sekitar areal itu.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM perwakilan Papua meminta Panitia Besar atau PB PON Papua, menanami kembali hutan bakau yang rusak, di sekitar lokasi pembangunan venue cabang olahraga dayung. 

Bacaan Lainnya

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan pihaknya memantau kondisi hutan bakau di sekitar Teluk Youtefa hingga Pantai Holtekam, beberapa hari lalu. 

Di sana ditemukan kerusakan hutan bakau pada 16 titik, termasuk sekitar areal pembangunan venue cabor dayung.

“Kami mengingatkan PB PON [menanam kembali bakau] karena di sekitar situ dibangun venue dayung. Mereka mesti melakukan penanaman ulang di sekitar situ sehingga hutan bakau yang dirusak oleh mereka, tidak hilang. Ini untuk jangka panjang,” kata Frits Ramandey, Jumat (12/02/2021).

Frits mengatakan, Komnas HAM perwakilan Papua melakukan pemantauan, sebab hak hidup warga atas lingkungan yang bersih dan lestari, merupakan bagian dari hak asasi.

Tidak hanya menemukan belasan titik kerusahan hutan bakau. Saat memantau sepanjang jalan penghubung Pantai Hamadi, Distrik  Jayapura Selatan, dengan Holtekam, Distrik Muaratami, Kota Jayapura tim Komnas HAM perwakilan Papua juga menemukan kerusakan hutan sagu di 12 lokasi.

Kerusakan hutan bakau dan hutan sagu diduga akibat alih fungsi lahan. Sebagian kawasan telah ditimbun oleh pengembang, untuk kepentingan pembangunan. 

Komnas HAM perwakilan Papua mengingatkan Pemerintah Kota Jayapura, berperan dalam pelestarian lingkungan di sekitar Teluk Youtefa. Bekerjasama dengan komunitas yang selama ini aktif mengkampanyekan pelestarian lingkungan di wilayah itu.

“Kami harap Pemkot Jayapura terus mengedukasi pemilik ulayat sekitar Teluk Youtefa, pentingnya keberadaan hutan bakau, agar tidak menjual tanah adatnya di sana kepada pengembang,” ujarnya.

Katanya, kalaupun pemilik ulayat akan menjual tanah adatnya di kawasan itu, cukup dengan luas tertentu. Kawasan lindung mesti dipertimbangkan.

“Jangan dijadikan kawasan pembangunan karena berpotensi merusak lingkungan sekitar dan pencemaran lingkungan,” ucapnya.

Beberapa waktu lalu Peneliti dari Jurusan Geografi, Universitas Cenderawasih, Yehuda Hamokwarong mengatakan hutan bakau di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa tersebar di Kampung Nafri, Injros, dan Tobati. Jenisnya bermacam, seperti genus Sonneratia (S. ovata dan S. alba), Rhizophora (R. mucronata, R. Apiculata, dan R. stylosa), Avicennia (A. alba), Xylocarpus (X. granatum), dan Bruguiera (Bruguiera gymnorrhiza dan B. cylindrica).

Ia menilai, kehadiran Jembatan Youtefa atau jembatan Merah di sana, mengubah fisik, psikis, dan sosial masyarakat sekitar. 

Secara fisik jembatan mengundang banyak investor. Penggusuran mengubah vegetasi di pesisir, seperti cemara udang (kasuari), pandanus, kelapa, rerumputan, dan rawa-rawa dengan hutan sagunya.

“Pohon-pohon ditebang, padahal fungsi utama pohon-pohon itu menahan abrasi dan intrusi, serta menahan terjangan gelombang dan badai, saya punya penelitian terbaru, di situ memang rumah ikan, itu tempat tinggal homo sapiens,” kata Yehuda Hamokwarong belum lama ini. (Arjuna)

UNTUK PEMBACA METRO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *