Gobai: Polisi dan Dewan Adat Harus Sudah Bisa Proses Hukum Pelaku ‘Suanggi’ pada 2026

Anggota DPR Papua Tengah, John Gobai

Metro – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua Tengah, John NR Gobai menyatakan polisi dan dewan adat mesti bisa memproses hukum pelaku suanggi atau ilmu hitam sejenis santet pada 2026.

Menurutnya, secara filosofis, suanggi merupakan suatu kemampuan yang pada umumnya tidak dimiliki semua orang. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat serta memiliki kemapuan tersebut. 

Bacaan Lainnya

“Ilmu suanggi atau santet atau gaib ini, juga dapat disebut sebagai pengetahuan superanatural atau metafisika karena dalam kemampuan atau ilmu ini, melibatkan sebuah teknik yang tidak semua orang bisa melihatnya. 

Keyakinan akan sebuah tradisi atau kebudayaan ini sangat mempengaruhi peraturan hukum yang ada dalam masyarakat,” kata Gobai, Selasa (01/07/2025).

Katanya, ilmu suanggi atau santet ini merupakan pengetahuan yang dapat mempengaruhi kebiasaan masyarakat, dan pada akhirnya akan terbentuk sebagai suatu kebudayaan. 

Hal-hal yang ada dalam masyarakat adat (living law), oleh karena itu ke depan pemerintah daerah, polisi dan jaksa harus dapat merumuskan payung hukum di daerah, untuk menjerat pelaku kuasa gelap.

“Mereka harus mendapatkan hukum dengan delik pidana atau hukuman sosial oleh masyarakat. Kita sedang tidak menyadari bahwa kelompok ini telah dan sedang memakan korban manusia,” ujarnya.

Gobai menegaskan, pemerintah telah mengesahkan undang-undang ((UU) baru pada 02 Januari 2023, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. 

Dalam KUHP baru ini terdapat pasal yang dikenal oleh masyarakat sebagai pasal tentang ilmu hitam atau santet, yang disebut sebagai pengaturan tentang santet yaitu pasal 252 KUHP, dan UU ini akan berlaku pada 2 Januari 2026.

“Karena itu pada 2026, polisi dan dewan adat mesti bisa memproses hukum pelaku ilmu suanggi itu. Karena ketentuan ilmu gaib atau santet ini tertulis dalam 

pasal 252 KUHP,” ucapnya.

Katanya ayat (1).pasal 252 KUHP berbunyi, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pada ayat (2) berbunyi, jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaha rian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Namun katanya, dalam pasal 252 KUHP ini, tidak menjelaskan tentang pembuktian yang membuat masyarakat juga mempertanyakan tentang bagaimana pembuktian dalam kasus praktik suanggi, dukun santet ini jika peraturan tersebut berlaku.

Gobai mengatakan, dalam pembuktian ini pemerintah perlu menggunakan kebiasaan masyarakat adat, karena berbicara santet atau ilmu hitam ini, tidak bisa menggunakan logika sebab merupakan sesuatu hal yang ada  dalam masyarakat, namun selalu memakan korban sehingga harus diatur dan pelakunya harus di hukum.

“Firman Tuhan dalam Efesus 6:12 mengatakan, karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.

Rasul Paulus sudah berbicara dalam surat kepada efesus oleh karena itu penegak hukum di Tanah Papua dan pihak adat sudah harus memikirkan langkah langkah pemberantasannya,” kata Gobai.

John Gobai mengatakan, dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU nomor 21 tahun 2001 junto UU nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua, telah diatur tentang peradilan adat. 

Namun tentu harus dikuatkan dan diberikan ruang yang leluasa melakukan kegiatan sidang peradilan adat memperkarakan persoalan yang ada dalam masyarakat (living law), termasuk soal ilmu hitam atau suanggi.

Pelaku harus dituntut dan dihukum, masing masing daerah harus mengatur tentang sanksinya. Harus juga diatur kerjasama peradilan adat dengan kepolisian dan kejaksaan di Tanah Papua dalam peraturan adat di Tànah Papua sesuai UU Otsus Papua .

Katanya, kasus ini ada dalam masyarakat, hidup dalam masyarakat dan telah memakan banyak korban sehingga harus diberantas. Jika dilihat dari Hukum Acara Pidana (KUHAP), adanya keterangan ahli menurut pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki ‘keahlian khusus’ dibidangnya tentang hal yang diperlukan untuk mempermudah pemeriksaan.

“Dalam hal inilah diperlukan orang-orang baik dan jujur, yang mempunyai kuasa dari Tuhan untuk menjadi keterangan sesuai dengan pembuktian budaya maupun kelebihan yang dimiliki, walau dari sisi logika tidak dapat diterima namun darij sisi superanatural atau metafisika bisa dibuktikan,” ujarnya

Gobai menegakkan, sudah waktunya semua manusia jenis iblis yang masih menyimpan kuasa gelap harus membuang barang-barangnya, sebelum 2026.

“Polisi harus berani berantas ini. Tuhan pasti bersama kalian. Kelembagan peradilan adat harus segera dilembagakan dengan perangkatnya untuk menyidangkan pelaku kuasa gelap. Setelah putusan adat  maka dikenai saksi adat dan hukum positif jika benar terbukti,” kata Gobai. (*)

Untuk Pembaca Metro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *