Derita Warga Nduga, Tiga Kali Natal di Pengungsian

Metro Merauke – Akhir 2018 silam, ribuan warga Nduga dari 12 distrik meninggalkan kampungnya. Mengungsi ke berbagai kabupaten sekitar yang dianggap aman. 

Pengungsian besar-besaran itu diawali peristiwa, 2 Desember 2018. Pembunuhan belasan pekerja jalan trans Papua di Nduga, direspons penyisiran ke berbagai wilayah di sana oleh aparat keamanan.

Bacaan Lainnya

Mencari kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), pimpinan Egianus Kogeya. Pihak yang mengklaim bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut.

Akan tetapi penyisiran itu berdampak pada warga sipil. Beberapa di antara mereka dianggap bagian dari kelompok pelaku. Warga lain yang tak ingin menjadi korban salah sasaran, memilih mengungsi ke daerah yang dianggap aman.

Beberapa kabupaten terdekat yang menjadi tujuan pengungsian, yakni Lanny Jaya, Jayawijaya, Puncak, Puncak Jaya, dan Mimika.

Matahari tepat berada di atas kepala ketika Metro Merauke mendatangi satu di antara lokasi pengungsian warga Nduga di pinggiran Kota Wamena, Jayawijaya awal pekan ini. 

Belasan anak bersama orangtuanya terlihat di sekitar lokasi pengungsian. Letaknya berada di pinggir sungai yang airnya deras dan keruh. Usia mereka berkisar delapan bulan hingga 15 tahun. 

“Di sini ada lima keluarga pengungsi. Pengungsi Nduga di Wamena ini ada yang tinggal bersama dalam kelompok kecil, ada yang dalam kelompok besar,” kata relawan pengungsi Nduga, Raga Kogeya kepada Metro Merauke kala itu.

Sudah dua tahun ribuan warga Nduga hidup di pengungsian. Tahun ini mereka akan merayakan Natal untuk ketiga kalinya di sana.

Mereka memendam rindu terhadap kampung halaman. Merayakan Natal sederhana bersama sanak famili, di tanah kelahiran seperti beberapa tahun lalu terbayang di pelupuk mata.

“Sudah mau tiga kali Natal warga Nduga di pengungsian. Pertama Natal 2018, Natal 2019 dan kini memasuki Natal 2020,” ucap Raga.

Warga Nduga menurutnya, ditimpa masalah bertubi tubi. Mereka meninggalkan kampungnya karena masalah keamanan. Akan tetapi di pengusian mereka mengalami berbagai kesulitan. 

Warga Nduga melaksanakan ibadah hari Minggu di gereja yang ada di lokasi pengungsian di Jayawijaya – Arjuna

Selaian masalah kebutuhan makanan, air bersih dan penerangan, pengungsi juga mengalami berbagai masalah kesehatan terutama penyakit kulit. Tidak hanya menimpa sebagian besar anak anak, juga beberapa orang dewasa. 

“Negara ini tidak adil. Mereka mengejar Egianus Kogeya, tapi kami warga sipil yang korban. Harapan kami, negara menarik pasukan dari Nduga, supaya pengungsi dari 12 distrik pulang ke kampungnya,” ujarnya.

Sejak dua tahun terakhir kata Raga, pengiriman pasukan terus dilakukan ke Nduga. Kini sudah ada ribuan aparat keamanan di sana. Menyebar ke berbagai distrik. 

Situasi itu lanjutnya, membuat warga di Nduga hingga kini masih terus mengungsi ke daerah yang dianggap aman. Mereka tidak mau menjadi korban salah sasaran kedua pihak yang berkonflik.

Relawan mencacat hingga akhir 2019 silam, warga Nduga yang mengungsi ke Jayawijaya sebanyak 8.000 orang. Jumlah itu kemungkinan bertambah tahun ini, mengingat pengungsian ke Jayawijaya masih terus terjadi.

“Tahun ini kami belum mendata lagi berapa jumlah pengungsi di Jayawijaya. Akan tetapi sebenarnya dari 32 distrik di Nduga, hampir semua warganya telah mengungsi,” kata Raga Kogeya.

Pengungsi Nduga hanya meminta agar pihak yang berkonflik tidak lagi menyebabkan jatuhnya korban dari warga sipil. Warga Nduga hanya ingin hidup aman dan damai di kampungnya. 

Merayakan Natal dengan sederhana, dengan suasana damai dan penuh sukacita, seperti tahun tahun sebelumnya. 

“Cukup sudah air mata orang Nduga di pengungsian. Kami tidak minta makan minum. Kami hanya ingin hidup damai. Marayakan Natal di kampung kami,” kata Raga.

Ratusan Warga Nduga Meninggal di Pengungsian

Sejak mengungsi ke Jayawijaya dua tahun terakhir, ratusan warga Nduga meninggal di pengungsian.

Relawan Pengungsi Nduga lainnya, Sipe Kelnea mengatakan pihaknya mencatat, sejak akhir 2018 hingga kini, sedikitnya 400 warga meninggal di pengungsian.

Ada berbagai beberapa faktor yang menyebabkan ratusan orang itu meninggal dunia. Di antaranya karena masalah kesehatan, faktor lanjut usia dan sejumlah penyebab lainnya.

“Belum lagi [pengungsi Nduga] yang ada di tempat (kabupaten) lain,” kata Sipe Kelnea.

Katanya, pengungsi Nduga yang di Jayawijaya awalnya hanya berada pada beberapa lokasi. Akan tetapi, kini mereka telah menyebar ke berbagai wilayah di sana. 

Pengungsi secara berkelompok maupun pribadi, masing-masing mencari lokasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berkebun.

“Saya hanya sayangkan sudah banyak anak anak daerah Nduga menjadi tenaga medis, tapi sampai sekarang tak ada yang membantu [menangani masalah kesehatan] pengungsi,” ujarnya.

Pengungsi Nduga di salah satu lokasi pengungsian di Jayawijaya – Arjuna

Sipe Kelne yang juga seorang evangelis (pekabar injil) itu menyatakan, kini pemerintah dan DPRD Nduga terkesan tidak memperhatikan warganya yang ada di pengungsian. 

“Pihak eksekutif dan legislatif ini, semua sudah tidak kelihatan. Sudah sembunyi semua,” ujarnya.

Relawan lain, Dolia Umbruangge mengatakan ribuan warga Nduga menyebar ke berbagai kabupaten terdekat yang dianggap aman, termasuk Jayawijaya.

Katanya, masih banyak pengungsi Nduga di sejumlah kabupaten lain. Akan tetapi pihaknya belum menelusuri.

“Pengungsi bukan hanya di Wamena (Kabupaten Jayawijaya) saja, tapi hampir semua kabupaten di wilayah pegunungan Papua,” kata Umbruangge. (Arjuna)

UNTUK PEMBACA METRO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *